Sementara Bangkok adalah ibukota modern Thailand, Ayutthaya adalah ibukota Kerajaan Siam yang berjaya antara tahn 1350 hingga 1700an sebelum dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Burma. Ibukota kuno ini kini tinggal puing-puing, walau sebagian pagodanya masih berdiri tegak. Kota Ayutthaya terletak 80km sebelah utara Bangkok. Minggu lalu kami mengunjunginya.

Sebelum berangkat ke Thailand pun saya sudah membaca banyak review dengan kesimpulan bahwa cara terbaik menuju ke Ayutthaya adalah menggunakan kereta api. Syukur-syukur bisa dapat paling murah, selain hemat juga lebih seru.
Untuk menuju ke Ayutthaya banyak pilihan kereta karena kota ini berada dalam rute menuju ke kota-kota besar Thailand di bagian utara, seperti Chiang Mai dan Lopburi. Secara garis besar kereta terbagi menjadi 4, yaitu Ordinary, Rapid, Express, dan Super Express DRC. Dalam satu kereta pun terbagi menjadi kelas 1, 2, 3 – walau terkadang untuk kereta Ordinary hanya mengangkut gerbong kelas 3 saja. Lama perjalanan antara 1 hingga 2 jam tergantung jenis kereta. Harga tiket Bangkok-Ayutthaya berkisar antara THB 15 (sekitar Rp 4500) untuk kereta Ordinary kelas 3 hingga THB 245 (sekitar Rp 60 ribu) untuk Super Express.
Kami berangkat ke Hua Lumpong – atau disebut juga Bangkok Railway Station – sekitar pukul 8.30 pagi. Hanya butuh waktu 20 menit naik taksi dari apartemen kami di Pratunam.

Hua Lumpong adalah stasiun kereta api besar dengan berbagai rute. Hampir seperti stasiun di Indonesia, ada kios-kios penjaja makanan, ada juga tempat sembahyang.
Konter penjualan tiket di sini terbagi dua, yaitu penjualan tiket langsung yang biasa dan konter tiket advanced booking serta khusus untuk orang asing/foreigner. Di konter foreigner ini kami mengambil kartu nomor antrian dan duduk manis menunggu giliran hingga…………antriannya diserobot ibu-ibu Thailand dan bikin Puput marah-marah. Yo ngono kui lah, podo mbek nang Indonesia.
Entahlah kenapa orang-orang yang beli tiket lama-lama sekali, sepertinya mereka sekalian bertanya kereta apa, harga tiket berapa, sambil dicatat. Simbok bengong, hambok browsing sik. Cuma butuh 2 menit bagi Puput untuk beli tiket kami. Kami beli 3 tiket, anak di atas 100cm dihitung satu orang, Ola gratis. Total THB 45 untuk kelas 3 kereta Ordinary berangkat pukul 9.25.
Kami bergegas ke peron 8 dan keretanya sudah mbedogrok di situ. Buru-buru naik ternyata sudah banyak penumpangnya. Seluruh wilayah jendela sudah dikuasai karena kebanyakan penumpang sendirian. Akhirnya kami mengambil tiga kursi hadap-hadapan yang baru terisi satu orang.

Pengen ketawa juga lihat keretanya. Jendelanya besar-besar dan bolong tanpa kaca. Ada jendela seng yang bisa ditarik ke atas untuk menutup bila terlalu panas. Ketika kereta bergoyang agak dahsyat jendela sengnya melorot lagi hahahaha. Oliq duduk di bagian panas tapi anaknya tidak terlalu komplain. Ola tidur digendongan saya dengan rambut basah kuyup kepanasan. Ada kipas angin menyala tapi tidak berputar.
Overall asyik sekali naik kereta kasta terendah ini. Seru karena perjalanan hanya dua juam, bukan sehari wekekekek. Ada penjual asongan wira-wiri. Bau dagangan semacam gorengan babi dengan ceplusan cabe rawit sungguh menggoda selera gyaaa wkwkwkwkwk. Kami hanya beli jajan buah di dalam kereta.
Setengah gerbong kami memiliki kursi-kursi yang semuanya menghadap depan. Kursi-kursi ini jauh lebih bagus daripada kursi kami, bisa recline, dan banyak yang kosong. Tidak ada penumpang yang berani menduduki kursi-kursi nyaman ini karena bagian ini khusus untuk biksu. Reserved for monks. Demikian menghargainya Thailand terhadap pemuka agamanya.
Kami melewati pedesaan, persawahan, area industri, dan tidak terasa dua jam persis kami tiba di Ayutthaya. Jelas terlihat ini adala kota wisata karena terlihat banyak farang di stasiun.

Jangan terjebak dengan orang-orang yang informasi gratis di bagian depan stasiun, mereka sebenarnya menawarkan tuktuk untuk memutari Ayutthaya. Tarifnya antara THB 600 hingga THB 1200 untuk beberapa jam. Kami menyeberang jalan dan menemukan sewa motor. Harganya THB 200 boleh dipakai hingga pukul 7 malam. Jelas kami lebih memilih naik motor daripada sewa tuktuk.

Puput memilih motor scoopy berwarna biru. Agak ribet juga membawa dua anak plus dua ransel tapi masih cukup nyaman. Lebih enaknya lagi, kalau mandiri seperti ini lebih bebas berada di lokasi yang diinginkan, tidak dibatasi waktu. Hanya perlu meninggalkan satu kartu identitas, kami dapat helm – termasuk helm anak-anak – dan peta.


Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah Wat Maha That. Ini adalah salah satu wat terbesar di Ayutthaya, dengan spot paling menarik adalah kepala patung Buddha yang sudah dilingkari oleh batang-batang pohon Bodhi. Tubuhnya sudah hilang. Di sini, pengunjung dilarang berselfie sambil berdiri. Kami harus duduk hingga satu level dengan kepala Buddha.
Wat Maha That ini kompleksnya besar, seperti hampir semua struktur lama di Ayutthaya, sudah terbuat dari batu bata merah. Ada beberapa pagoda yang merupakan ciri khas Thailand, yaitu bagai stupa lancip – mirip seperti stupa di Shwedagon Myanmar. Ada juga bangunan-bangunan yang meninggi dengan arsitektur gaya Kamboja.

Kami makan siang di sini, di sebuah tempat agak sepi di bawah pohon. Makannya sederhana, berupa nasi, Indomie goreng, dan orak-arik telur bakso buncis dan wortel yang saya masak tadi pagi di apartemen. Inilah salah satu alasan mengapa saya memilih memasak saat travelling. Bisa untuk bekal jalan-jalan hingga tidak perlu susah payah mencari makanan yang rasanya entah bagaimana, belum lagi tidak ada jaminan halal. Kami makan lahap hingga butir nasi terakhir lalu melanjutkan perjalanan.
Perjalanan di Ayutthaya ini agak mengingatkan kami ketika pergi ke Angkor Wat, berkeliling candi dengan cuaca panas nan lembab. Berliter-liter air kami tenggak. Untungnya anak-anak sama sekali tidak rewel. Mereka kelihatan senang berlari ke sana ke sini. Oliq senang naik ke pagoda-pagoda yang tinggi. Ola sibuk bermain di rumput.


Seninya jalan-jalan bersama anak adalah meyeimbangkan antara kunjungan tempat wisata namun juga membuat anak senang. Karena itu, kami tidak pernah membuat itinerary yang ketat dan terburu-buru. Kami pejalan santai.
Kami pergi juga ke Wat Ranca Burana yang memiliki pagoda tinggi. Ia juga memiliki sebuah hall besar dulu merupakan tempat pemuka agama memberikan ceramah. Bangunan batu bata itu sudah miring di bagian depannya. Maklum, usianya sudah ratusan tahun.
Wat Phra Sisanpeth memiliki pagoda-pagoda cantik yang lancip. Di sana-sini sedang direnovasi. Wat ini juga sangat luas, sepertinya yang terbesar di Ayutthaya. Di sini terdapat sebuah monumen dari UNESCO yang menandakan Ayutthaya sebagai Warisan Budaya Dunia.

Di bagian luar Wat Phra Sisanpeth ada beberapa ekor gajah tunggang. Tentu kalian pecinta binatang akan mengutuk aktivitas ini kan hehe?
Kami melewati beberapa wat lain yang, entahlah, namanya susah saya lafalkan dan saya ingat. Maklum, hari itu kurang ngopi.
Kami berangkat menuju ke stasiun sekitar pukul 3.30 sore. Kaki sudah lelah dengan tubuh berkeringat. Sempat tersasar juga hingga akhirnya berada di jalan yang benar untuk menyeberang jembatan untuk kembali ke stasiun.

Ah ya, saya lupa bilang bahwa Ayutthaya ini sebenarnya bagai sebuah pulau yang dikelilingi oleh sungai-sungai besar, yaitu Pa Sek, Chao Phraya, Muang dan Lop Buri.
Kami kembali mendapatkan kereta Ordinary kelas 3. Dan tanpa menunggu kami buru-buru disuruh petugas ke peron 3 karena kereta hampir tiba. Alhamdulillah, kami dapat tempat duduk yang agak leluasa.
Anak-anak gembira dan menikmati perjalanan. Saya dan Puput harus salat bergantian di kereta, diperhatikan oleh nenek-nenek lokal sambil berbisik-bisik. Berasa digosipin Lambe Turah wekekek.
Semuanya berjalan lancar hingga tinggal sak-crut-an lagi sampai Bangkok, Ola tiba-tiba punya inisiatif untuk membuang satu sandal Oliq keluar jendela kereta yang sedang berjalan. Drama. Oliq menangis, Ola menangis dimarahi Puput. Saya dan Puput jengkel tapi kok ya pengen ngakak melihat sandal Oliq yang tinggal sebelah. Belum puas, Ola kembali beraksi, kali ini membuang topi Oliq. Untung kali ini refleks saya cepat hingga berhasil menangkap topi yang sudah berada di luar jendela. Haduuuuh.
Sampai di Hua Lumpong awalnya Oliq minta gendong karena tidak punya sandal. Puput malah menyuruhnya pakai satu sandal saja. Ha kan sungguh ajaib to, yo dengklang. Akhirnya saya bilang udah nyeker aja, kalau gendong malah jadi pusat perhatian wong anak gede kok gendong. Kalau nyeker malah nggak ada yang memperhatikan. Akhirnya anaknya mau nyeker di sepanjang stasiun hingga ke stand taksi. Kami berhenti di Pratunam, tepat di depan toko sandal.
Olaaaaaaa!
Jadi tiketnya gak ada nomor kursi ya mbak? Tapi gak sampe gak kebagian kursi kan? *Keinget kereta India haha.
Walau “hanya” 2 jam, tapi kalo sambil berdiri ya pegel juga. Atau ngebotakin kepala aja kali ya biar dapet priority seat? Wuwuwuwu.
Makasih Ola, berkat Ola, Oliq dapat sandal baru hahahaha
LikeLike
Kelas 3 ga ada. Kelas 1 ada kayanya. Ga penuh bgt kok soalnya keretanya sering bgt. Ada kali tiap 20 menit
LikeLike
Kalau udah biasa naik commuter line Jabodetabek, berdiri 2 jam mah cincay Yan. Apalagi kalau keretanya gak desak-desakkan hahaha
LikeLike
Aman laaah kursi kok soalnya keretanya juga sering bgt
LikeLike
Iya, bagi rakyat Jakarta 2 jam mah geli-geli doang ya mas hahaha
LikeLiked by 1 person
selalu ada drama kalo bawa anak kecil traveling ya mba.hahaha
LikeLike
Hehehe iya. Ada ada aja
LikeLike
jarak 80 km butuh 2 jam juga ya Mbaa…
Udah aku bookmark niiih, hehe
LikeLike
2 jam persis mbak klo kereta yg biasa. Soalnya kalau papasan kan dia yg ngalah. Kaya kereta ekonomi indonesia. On time kok tapi. Klo naik taksi paling 1 jam lebih
LikeLike
Bangkok ki emang asik, tapi nyebelin. Kameraku ceblok ning kota iki. Hiks. Pecah. Mungkin kalo balik lagi ke Thailand pengen ke Ayutthaya ini selain main2 ke pantai buat lari2 tampan. Gedein badan dulu nih. Long run bikin kurus 😉
LikeLike
Lha justru ke bangkok buat gedein badan wong panganane enak2. Bojoku ae menggemuk
LikeLike
Hahaha ya ampun nduuk Ola, usilll ternyata. Tapi ya murah yo tiketnya kereta..4500, ra ketang ekonomi.
LikeLike
Mbeling pol ola ki. Kerep dislenthik bapake kok
LikeLike
Endingnya, Ola punya sandal baru yippiiiieee 😀
LikeLike
Sandalnya Oliq yg dibuang Ola.
LikeLike
Udah gak perlu AC ya mbak Olen itu kereta jendelanya bolong gede banget.. 😀 Enak sepi tempat wisatanya, kece buat foto2.. Ada yg pacaran gak di sana? Wkwkkwk.. Olaaaa warbyasa bikin Oliq nyeker.. Pukpuk Oliq.. 😀
LikeLike
Ga adaaa. Aman. Beda sama di India wkwkwkw
LikeLike
Catet! Masa aku tiga kali ke sana yo gak jadi-jadi ke Ayutthaya. Yang terakhir gara-garanya salah satu teman jalanku ada yang diare, daripada berabe di kereta, akhirnya kita di Bangkok aja. Padahal ke Ayutthaya bisa one day trip khan yaaa …
Btw, kalian gak mampir ke istana Bang Pa In mbak?
LikeLike
Harusnya pakai pampers mas wkwkwkw. Ga mampir. Males aja.
LikeLike
Mau tanya dong Bang, untuk sewa motor di Ayutthaya harus ninggalin dokumen apa ya buat jaminan? Kalau harus ninggalin paspor apa aman?
LikeLike
Bukan paspor tapi ninggalin identitas lain. Misalnya KTP atau sim A Indonesia, atau KTM. Pengalaman kami di Phuket dan Krabi juga gitu, kadang cuma difoto mukanya doang dan dicatat datanya.
LikeLike
Oh kirain harus paspor Mba, untuk tempat parkir kalau main di candi Ayutthaya gampang dan aman aja kan ya? Rencana sendirian soalnya nanti kesana..
LikeLike
Aman tentram kaya di Thailand yg lain. Tanpa tukang parkir ditinggal doang
LikeLike
Terima kasih infonya Mba..
LikeLike
mba, mau tanya klo gak punya SIM gak masalah kan ya? klo ada Razia gimana? saya sama teman saya rencana oct ini mau kesana. Mohon infonya. Makasih ya mba
LikeLike
Sim Indonesia bisa. Ga ketemu razia sih pas itu. Kalau di daerah Ayutthayanya mungkin jarang karena sepi, kalau agak ke kota entah ya
LikeLike
Untuk sewa motor yang ditinggal disana ID berupa apa ya Kak? Saya kok agak takut kalau tinggal paspor..
LikeLike
jangan paspor, ktp aja atau sim A
LikeLike