Dulu, setiap ulang tahun desa Condong Catur, pasar malam selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu para warganya untuk berwisata, entah sekedar jajan cemilan, coba-coba wahana, hingga beli mainan anak yang saat itu rasanya masih sangat mewah. Condong Catur masih sebuah perumnas menengah ke bawah yang diapit kebun tebu dan sawah di sekelilingnya. Pada masa itu, belum ada mall di Jogja. Gardena di Jalan Solo dan Ramai di Malioboro masih menjadi toko paling beken di masanya. Sekaten juga masih selalu ditunggu-tunggu masyarakat Jogja meski tiap tahun isinya itu-itu saja.

Kini zaman sudah berubah. Jogja sudah penuh sesak dengan mall, hotel, diskotik, dan berbagai hiburan modern ala kota metropolitan. Condong Catur pun sudah naik kelas menjadi salah satu lokasi favorit di Sleman. Kebun tebu dan sawah sudah lenyap diganti bangunan universitas, perumahan, kompleks pertokoan, dan rumah sakit. Rumah asli Perumnas Condong Catur yang terbuat dari asbes murahan pun sudah banyak disulap menjadi rumah mewah.

Saya sedikit takjub ketika pulang kampung akhir tahun lalu. Rupanya masih ada pasar malam pada saat musim liburan akhir tahun yang digelar di lapangan perumnas, persis di depan masjid. Memang tak semeriah dulu pada masa kejayaannya, namun setidaknya membawa saya bernostalgia masa-masa kecil yang indah. Dulu waktu masih anak-anak, rasanya memang sangat antusias kalau ada pasar malam dalam rangka Condong Catur Fair, apalagi kalau ada atraksi-atraksi macam tong setan yang legendaris. Kini pasar malam terlihat lebih bersahaja. Wahana yang paling mewah rasanya hanya dremolen, anggap saja nenek moyangnya Singapore Flyer yang tertinggi di Asia. Komedi putar yang sering menjadi favorit juga sudah tak ada lagi.

Namun saya tetap menikmati hiburan rakyat yang satu ini, apalagi kini saya sudah punya dua buntut yang lucu, Oliq dan Ola, tentu dengan keluarga besar termasuk Simbok. Hiburan yang paling dinanti tentu dremolen. Awalnya saya agak ragu melihat teknisi yang terlihat sibuk membetulkan mesin yang memutar dremolen. Setelah diotak-atik, kok rasanya dremolen berputar sangat cepat, agak mengerikan kalau dinaiki. Rupanya setelah beberapa saat, ada tuas rem yang disetel, lalu dremolen berputar lebih lambat dan petugas mulai mempersilahkan pengunjung yang mau naik. Tiketnya murah saja, hanya 5000 rupiah, entah berapa putaran, rasanya 3 kali lebih. Pengunjung mulai mengular, rupanya masih banyak rakyat kecil yang ingin menikmati hiburan ini. Ada juga yang baru sekali putaran sudah minta turun, rupanya anaknya jerit-jerit ketakutan waktu di atas. Oya, ada atraksinya juga lho… Saat dremolen sudah berputar, tiba-tiba si petugas bergelantungan di kabin yang kosong lalu ikut berputar ke atas. Entahlah maksudnya apa, sekadar uji nyali atau menyeimbangkan beban dremolen, tapi yang melihat jadi agak ngeri-ngeri sedap. Kalau jatuh bisa mati juga, minimal patah tulang lah. Untungnya gak terjadi apa-apa.

Wahana lain yang menjadi favorit anak kecil adalah miniatur istana yang terbuat dari karet dan plastic yang ditiup angin kompresor. Dulu wahana seperti ini tidak pernah ada, tapi kini banyak di mall-mall modern. Ukurannya tak terlalu besar, tapi anak-anak terlihat enjoy lonjak-lonjak dalam istana kecilnya. Wahana lain yang jadi favorit adalah pemancingan ikan plastik. Ini juga tidak pernah ada di jaman saya kecil dulu. Permainannya simpel saja, ikan-ikan plastik yang diberi besi di ujungnya diletakkan dalam kolam arus, lalu anak-anak tinggal memancing dengan kail yang ujungnya diberi magnet. Eh, gak segampang itu lho mancing ikan-ikan yang melaju dalam arus. Oliq saja berkali-kali gagal sampai akhirnya memilih mancing ikan di pinggiran yang aman dari terjangan arus. Bayarnya juga murah, 5000 saja sepuasnya. Ada pula kolam yang berisi ikan mas asli, masih kecil sih, anak-anak boleh menjaring sepuasnya, kalau ikannya mau dibawa pulang tinggal bayar seribu rupiah per ekor.

Permainan yang agak standar adalah kereta api mini. Kalau ini rasanya selalu ada di pasar malam maupun di arena permainan anak-anak di mall. Bayarnya pun cukup 5000 saja.

Ada pula semacam pesawat yang berputar-putar layaknya komedi putar. Walau putarannya kecil saja, tapi anak-anak yang naik sudah terlihat happy. Yang ini juga cukup bayar 5000 rupiah. Meski hanya 5000 per wahana, tapi kalau dicoba semua lumayan juga habisnya, tapi tak apalah biar pasar malam ini tetap hidup dan bisa menghibur rakyat kecil di banyak tempat.

Selain wahana-wahana anak-anak, pastinya ada juga kedai yang menjual makanan, minuman, baju, dan mainan anak-anak. Dulu, warung yang selalu ramai adalah penjual galundeng dan tahu petis. Sekarang penjual galundeng tak ada lagi. Tapi yang klasik macam arum manis masih ada, dengan arum manis pink yang khas itu. Ada pula penjual sate dan jagung bakar layaknya penjual jajanan pasar malam. Yang unik kali ini adalah penjual es krim pot. Es ini konsepnya seperti pot bunga, jadi wadahnya benar-benar dari pot mini yang dilapisi plastic, lalu tanahnya berupa es krim yang dicampur potongan roti tawar, lalu bagian atasnya ditaburi serpihan oreo hitam. Biar lebih afdol, bunga hidup ditancapkan di es krim agar lebih menjiwai peran pot bunga. Kalau yang ini agak mahal untuk ukuran pasar malam, harganya 10.000. Tak apalah, demi kreatifitas merangkai es krim menjadi pot bunga.

Dari pengamatan saya selama beberapa hari, rasanya pasar malam ini masih tetap digemari masyarakat sekitar Condong Catur. Wahana-wahana juga tetap diminati anak-anak kecil walau tak selalu ramai setiap hari. Semoga saja pasar malam ini masih tetap bertahan di tengah gempuran hiburan metropolis yang kian merenggut kesederhanaan masyarakat Jogja.
Memang sekarang mall sudah menjamur dimana-mana, tapi sebagai generasi yang pernah merasakan kejayaan pasar malam kok rasanya jaman kita dulu itu lebih happy ya? hahaha …
Dulu waktu masih tinggal di Kudus, pasar malam tahunan yang paling dinanti-nantikan adalah bedhug dandang atau dandangan, yang diadakan selama seminggu menjelang bulan Ramadhan. Hampir semua orang Kudus pasti akan datang ke pasar malam itu, yang bisa menghabiskan jalan sepanjang Jalan Sunan Kudus, dari arah Kauman Menara hingga ke alun-alun Kabupaten.
Baca postinganmu ini, aku jadi kangen juga masa-masa itu mbak 🙂
LikeLike
generasi jadul juga ya.. 😛
LikeLiked by 1 person
tapi wajah dan penampilan masa kini #eeaaa 😀
LikeLike
Seru ya? Haha. Bagian paling aku suka dari pasar malam ya jajanan dan pasar murahnya. Satu lagi, rumah hantu! Rumah hantu pasar malam itu serem banget! Mereka berani bakar kemenyan pula, bikin serrrr…^^
LikeLike
oiya rumah hantu seru juga… mesti ada pocongan
LikeLike
Haha.. Rumah hantu pasar malam lebih ‘liar’ daripada rumah hantu dufan jaman dulu (ketawan umurnya kan). Hahaha. Abis, hantunya hantu indonesia dan bisa ngejar. Kan males 😂
LikeLike
Ora kebayang jaman mbiyen ConCat okeh wit tebu….
Tapi emang pasar malem yang seru itu pas masih anak-anak Mbok. Naik bianglala, liat pemandangan dari ketinggian itu rasanya wah. Tapi seumur-umur cuma sekali diajak Bapak ke pasar malem di Jogja.
BTW, cerita-cerita kenangan Jogja masa lalu lagi Mbok..
LikeLike
Aku pun saiki wis ratau ning sekaten meneh. Kui sing nulis bojoku BTW. Sing iki wis moco durung? https://backpackology.me/2013/11/26/dari-kebun-tebu-ke-eropa/
LikeLike
urung mbok, tak tilikono sik
LikeLike
Akh jadi inget waktu kecil ke Pasar Malam, naik permainan yang kita duduk trus secara manual itu dudukan yang bentuknya bulat diputer sama abang2nya. Nggak pake pengaman, tapi seru.
LikeLike
Kalau di Kudus, pasar malemnya nggak hanya pas ada acara khusus Mbok. Hampir tiap bulan malah ada namun lokasinya di desa yang berbeda. Nah bulan ini kebetulan ada di desaku. Ramai dan selalu ingin naik wahana-wahana klasik yang membuat jantung serasa mau copot. Satu lagi Mbok, sekarang ada wahana kora-kora yang bisa bikin jerit-jerit penumpangnya.
LikeLike