Lampu di atas layar telpon pintar saya berkedip. Saya sedang menidurkan Ola, di luar kabut asap kiriman masih pekat menyelimuti Kuala Lumpur. Di dunia maya hestek #TerimakasihIndonesia masih trending.
“Aku ning wisata anyar, lagi buka 2 bulan!” kiriman Whatsapp dari adik saya, Delin, di Jogja. Pesan tersebut disertai foto narsis sok unyu-unyu dirinya dengan latar belakang sungai dan hehijauan. Persis macam jenis foto yang diledek Barbie Hipster di Instagram dengan hestek #liveauthentic. Jaman sekarang pesan memang layaknya disertai foto karena No Picture = Hoax.

Karena ini adalah blog perjalanan, Simbok kembali banting setir ke urusan travel. Maklum, ga terlalu ngejar trafik dengan memasukkan segala jenis keyword yang laku di Google Search.
Ehem. Pesan semacam tadi bukan pertama kali datang dari Delin. Beberapa bulan yang lalu ia dan Gesit pacarnya menggunggah foto-foto di puncak menara bambu dengan latar belakang pemandangan cantik menawan plus langit biru bersih. “Karena Kalibiru sudah terlalu mainstream, kami ke Becici.”

Bulan setelah itu, Delin memamerkan foto terbaru, lagi kekeceh di Pantai Ngeden — sebuah pantai baru (lagi) di Gunungkidul. Sementara beberapa bulan sebelumnya yang lagi ‘heits’ adalah Pantai Nglambor, kabarnya enak buat snorkeling.
Lampu di ponsel kembali berkedip, kali ini ada pesan dari seorang kawan blogger tenar berinisial AA (bukan Amel Alvi). AA ini bilang baru turun gunung. “Gunung-gunung saiki koyok mall, Mbak!”
Entah apa maksudnya gunung seperti mal. Mungkin banyak perempuan berhotpants? Atau Starbucks membuka gerai di gunung? Atau AA iri saking banyaknya pasangan yang berdua-dua sementara dirinya masih menjomblo? Entahlah.
Ketika Semua Jadi Tempat Wisata
Saya ingat sering ketika bertemu orang asing saya ngoceh bahwa Indonesia itu cantik. Banyak lokasi wisata bla bla bla. Dulu yang namanya lokasi wisata itu yang terbayang cuma Bali, Borobudur, Baturraden, Tawangmangu. Brastagi dan Danau Toba cuma dikenal sebatas sekotak kavling paling mahal di monopoli internasional.
Bandingkan dengan sekarang.
Bali yang sudah sesak saja selalu mampu ‘memunculkan’ pantai-pantai baru. Dulu, yang dikenal cuma Kuta, Sanur, dan Tanah Lot. Lalu ada pantai baru bernama Dreamland, lalu ada Suluban, lalu ada Padang-Padang, kini eranya Pandawa dan Bingin.
Jangankan Bali yang berjuta wisatawan datang tiap tahunnya. Gunungkidul saja tiap beberapa bulan punya pantai baru. Zaman saya kecil, kenalnya ya cuma Parangtritis, Baron, Krakal, Kukup. Paling pol Pantai Depok. Beberapa tahun lalu mulai dikenal Pantai Siung, lalu kembar tiga Ngrenehan-Ngobaran-Nguyahan. Lantas ada Indrayanti. Setelah itu eranya Pok Tunggal. Lalu ada lagi Jogan, Watu Kodok dan lain-lain. Seolah-olah tiap bulan ada saja pantai baru. Tidak ada habis-habisnya. Apa segitu banyaknya wisatawan sehingga seolah-olah ‘harus’ ada tempat wisata baru.

Apa-apa dijadikan tempat wisata.
Pulau Sempu yang cagar alam itu dijadikan tempat wisata. Gunung-gunung pun jadi tempat wisata sehingga yang mendaki kini bukan lagi pecinta alam tapi semua orang. Mendaki gunung bukan lagi untuk mencintai alam, melainkan hanya berwisata. Upacara keagamaan tidak lagi syahdu karena — lagi-lagi — jadi ajang berwisata. Hotpants ber-DSLR berdiri menantang para jamaah yang datang untuk berdoa.
Indonesia darurat plesir.
Antara Kebutuhan dan Gengsi
“Kowe ki duit plesiran setahun ketoke iso nggo tuku omah siji yo, Nok!” ujar Mbah Kakung-nya Oliq dan Ola beberapa tahun lalu.
He em. *bayar kontrakan*
Bagi saya dan Puput yang berangkat sebagai travel mates, jalan-jalan itu sudah kebutuhan primer. Jaman di Jakarta, 10 jam macet dan jalan rusak pun ditempuh demi sampai di Ujung Genteng. Menginap semalam dua juta pun rela dibayar demi ‘bobogohan di alam’ di Bandung.
Semuanya atas nama plesiran.
Jangan-jangan ada jutaan orang lainnya yang seperti kami juga menganggap piknik sebagai kebutuhan. Juga gengsi. Karena katanya kalau kurang piknik itu pikiran sempit.
Kalau benar begitu banyak orang Indonesia yang menjadikan traveling sebagai bagian gaya hidup pantas kan kalau bermunculan tempat-tempat wisata baru. Dibuat kampung-kampung wisata bermodal sepetak sawah dan seekor kerbau, bermodal sebuah danau buatan yang lebih mirip empang dan beberapa puluh ikan mas, bermodal kebun stroberi seukuran tiga buah kamar kos ekonomis.
Jangan-jangan hidup Indonesia memang begitu beratnya sehingga yang namanya darmawisata itu jadi wajib hukumnya. Tamasya atau gila!
Pantai-pantai dibuka, para nelayan beralih profesi menjadi penjual suvenir. Lahan-lahan pertanian dibuka untuk vila, penginapan, pondok dan entah apalah. Hutan-hutan digantungi tali temali flying fox. Pohon-pohon digantungi hammock. Orangutan dilatih membuat tanda victory di depan kamera hehehe. Becanda.
Semoga saja sih, pertambahan tempat-tempat wisata bisa meningkatkan taraf hidup penduduk setempat, menambah pendapatan daerah, dan tidak merusak sumberdaya alam.
Tanpa merusak alam? Mustahil. Dan saya ikut bertanggung jawab dalam merusaknya.
Mungkin ketamakan saya akan traveling dan ‘surga tersembunyi’ ikut membuat alam Indonesia rusak.
HHeemmmm …
Blogger hits berinisial AA masih jomblo? Loh? Bukannya kemarin itu dia habis “malem songo”-an, mbak? #Ditanyain
LikeLike
Kemarin AA malam songoan karo bojone wong
LikeLike
Jadi… kita jalan-jalan saja, tapi ada baiknya bertanggung jawab dalam setiap perjalanan. Ya minimal ingatkan diri sendiri untuk tidak buang sampah sembarangan, deh.
Kalau untuk tempat yang baru, saya sih tidak melulu harus ngoyo harus ke tempat yang belum pernah didengar orang sebelumnya demi supaya jadi pionir dalam menemukan objek wisata. Yang penting tempat itu sebelumnya belum pernah saya datangi–atau kalau sudah, ada sesuatu yang saya temukan dan sebelumnya belum pernah–itu pun sudah cukup. Biar tempatnya mainstream pun tak apa :haha.
Tapi kalau masyarakat Indonesia sudah banyak yang traveling… artinya ekonomi masyarakat semakin baik dong ya.
LikeLiked by 1 person
Mba, sory out of topic hehe, kalo keadaan kabut kaya skrg ini masi aman gak buat jalan keluar sama balita di KL ya? rencana kamis kesana, please infonya ya ๐
LikeLike
Masih oke kok jgn kuatir
LikeLike
Asik deh..mkasi mb Olen, keren blognya ๐
LikeLike
Thx
LikeLike
mungkin menjadi traveler yang bijak dan mengamalkan dasa dharma pramuka bisa dijadikan trend mba ๐
LikeLike
Len, sik maen kano neng kali oya kuwi sebelah ngendi ya, neng daerah apa?
LikeLike
DI Rest Area Bunder mbak ( HUTAN BUNDER )
Sambi pitu masih naek kira2 500 M..
Nanti kiri jalan sudah kelihatan rest area nya…
COba deh mbak
Keren binggo
hehhee
LikeLike
Len, adekmu sik naik kano neng sungai oya kuwi sebelah ngendi ya, daerah apa namanya?
LikeLike
Indonesia memang indah banget, dan kalau diplesir sepertinya akan selalu menemukan hal yang baru dan berbeda. Apa kabar mba, semoga sehat selalu. Salam untuk si mas ganteng ya… ha,, ha,, ha,,,
LikeLike
Ih, fotonya Mba Delin unyu deh. Dolan mrana aaahhh .. ๐
LikeLike
buatkupun, plesiran ato traveling itu kebutuhan primer mba… ga mungkin bgt ga jalan2 samaskali tiap thn itu… tp toh tiap plesir kita berdua slalu inget utk ga merusak alam, bikin kotor ama sampah2, dan suka sebel kalo pergi k suatu tempat yg org2nya ga peduli ama sampah2 mereka sendiri -__-.. Plesir mw dijadiin kebutuhan pokok mah sbnrnya terserah aja ya..asal org2nya udh sadar diri utk slalu mau menjaga alam…di Indonesia, org2nya mah masih jauh dr kesadaran beggitu -___-
LikeLike
Indonesia ini benar2 surga dunia, apalagi indonesia timur. indonesia negara penuh dengan kekayaan alam sayang sekali banyak yang belum bisa dimanfaatkan secara maksimal
LikeLike
Dan sayang pengelola maupun pengunjung belum mampu ikut melestarikan lingkungan
LikeLike
bagus yah alamnya. jadi pengen jalan2 disana
LikeLike
Bagus!!!
LikeLike
Jleb banget ini postingannya.
Hmm entah ya kalau orang lain itu bagaimana pandangannya soal traveling, tapi kalau buat saya jalan-jalan itu soal ‘belajar dengan cara yang lain.
Tapi mungkin benar juga itu yang ditulis di atas “Jangan-jangan hidup Indonesia memang begitu beratnya sehingga yang namanya darmawisata itu jadi wajib hukumnya. Tamasya atau gila!”
LikeLike
Huhahaha, iya bener :)))
Benernya gak melulu wisata sih, pokoknya yang keliatan bagus di indtagram pasti akan jadi tempat foto. default manusia adalah menyombongkan sekecil apapun itu. jadi ketika seorang bisa dapet gambar bagus disana , aku juga harus kesana . Mungkn gitu :))) . dan kayak e itu udah menjadi penyakit idiot 2.0 :))
LikeLike
Kapan tuku omah e? duwek e entek kango tuku tiket. wis ping piro ditakoni koyok ngene. Trus malah dituturi ngalor ngidul, trus aku mek mantuk mantuk soale ngantuk. hehehe
LikeLike
Wis biyasaaaak!
LikeLike
Kebutuhan wisata di negeri kita tinggi Mbok, khususnya buat anak muda yang mengejar status “kekinian”. Klo aku sih ngerasanya jumlah peminat wisata sekarang ini lebih banyak dari tahun-tahun lampau. Semisal dulu hanya ratusan ribu orang, sekarang bisa jadi jutaan orang, dan dengan karenanya butuh tempat-tempat wisata baru.
Tempat wisata penuh. Gunung penuh. Mall penuh. Itulah resikonya hidup di Indonesia. Apalagi di Jawa yang kepadatan penduduknya tertinggi se-Indonesia.
Andaikan ongkos Jawa – Papua sama murahnya dengan ongkos Jakarta – Bogor, aku yakin orang bakal lari wisata ke Papua mbak. Ya sekarang ini wisata memang numpuknya di Jawa thok.
LikeLike
HOOH tenan Mawi. Kabeh ki penuh. So far, cuma India yg aku ngerasa lebih crowded dari Indonesia. Itulah kenapa aku putusin ga mau punya anak ke 3.q *Towel bojo.
LikeLike
Sip Mbok. Aq padamu nek perkoro program KB. *melas rung nduwe bojo
LikeLike
*pukpuk mawi* mbok cobo alid opo halim ditembung, sopo ngerti gelem
LikeLike
gak tamasya = gila…hahahaha iyo mbok aku di jakarta tiap hari berangkat jam 5.30 pagi jam 8 baru sampe kantor….2,5 jam tiap hari……..pulang juga gitu……bener2 butuh hiburan….tapi kok yaaa kurang suka foto-foto……entah kenapa aku dan keluarga hobi piknik tapi kurang narsis………………….aneh yaaaa
LikeLike