Orang bilang Pantai Tanjung Tinggi adalah primadona di Pulau Belitung, saya bilang Tanjung Kelayang lebih mengesankan. Suasananya yang sepi, pasirnya yang lembut bak beledu pernah saya jejak dua kali. Dalam dua masa.
Kunjungan pertama saya ke Belitung adalah sebuah solo trip di tahun 2009. Jenuh dengan pekerjaan kantor dan sesaknya Jakarta, saya memutuskan untuk kabur ke Belitung. “Mau membuktikan apa benar Andrea Hirata tidak bohong!” kata saya pada teman. Hahahah, ya benar juga sih, mau membuktikan apa benar pantai-pantai Belitung itu secantik yang ramai dibicarakan orang.
Saya memesan cottage di Tanjung Kelayang, di mana pantai hanya beberapa langkah dari pintu kamar. tarifnya saat itu murah sekali, hanya Rp 150 ribu saja. Mungkin ini yang membuat saya sangat terkesan dengan Tanjung Kelayang.
Selain pantainya yang bersih dan pasirnya yang lembut, Tanjung Kelayang juga memiliki pemandangan khas Belitung, yaitu batu-batu granit raksasa. Saya melompat dari satu batu ke batu lain, berbekal kamera dan tripodnya. Maklum saja, namanya juga bepergian sendiri, harus sedia tripod untuk bisa foto narsis. Dan lagi, saat itu yang namanya tongsis belum ngetren!
Salah satu hal yang saya sukai dari Tanjung Kelayang adalah fungsinya sebagai pantai nelayan. Orang Barat sana bilangnya working beach, alias pantai yang memang untuk mencari nafkah, bukan hanya pantai wisata. Tonggak-tonggak kayu terlihat timbul di antara hamparan birunya laut. Beberapa tonggak diikat tali yang pada ujungnya mengambang perahu kayu kecil. Banyak tonggak yang masih kosong, mungkin perahunya masih melaut.
Saya sempat berbincang-bincang di sebuah kedai kopi kecil di pinggir pantai. Seorang bapak bercerita, “Sekarang ini banyak tanah dibeli oleh orang-orang Jakarta. Bisa-bisa nanti habis Belitung ini.” Dia pun berkata bahwa ada pulau yang dibeli orang, entah benar atau tidak. Interaksi seperti ini membuat saya makin menikmati suasana Tanjung Kelayang. Bau kopi yang harum, lezatnya gangan kepala ketarap (saya sampai nambah lho!), dan deburan ombak tidak akan pernah saya lupakan. Sayang nggak ada yang digandeng….
Empat tahun berlalu
“Ayo Cup jalan-jalan ke Belitung,” kata saya pada suami. “Masa udah mau pindah dari Jakarta belum ke Belitung juga!” Akhirnya setelah Si Penyandang Dana setuju, saya pesan tiket ke Belitung untuk kami bertiga. Oh ya, kami pergi dengan Oliq yang saat itu umurnya sudah menginjak 2 tahun. Saya sengaja pesan hotel di Tanjung Pandan karena berniat mengeksplorasi Belitung Timur juga.
Satu agenda wajib berlibur ke Belitung adalah ke mercusuar di Pulau Lengkuas. Kami menuju ke Pulau Lengkuas dalam hujan lebat. Prahu terombang-ambing dihantam ombak besar sehingga terpaksa menepi di sebuah pulau. Oliq yang mengenakan jaket pelampung kebesaran malah terlihat senang terkena cipratan air. Sementara simbok bapaknya deg-degan sambil berdoa.

Untungnya ketika pulang cuaca sudah baik. Langit pun membiru, bekerja sama dengan kami, para pemburu foto. Perahu bersandar kembali di Tanjung Kelayang, tempat di mana mobil sewaan diparkir. Tentu kami tidak langsung pergi. Ini adalah Tanjung Kelayang, pantai favorit saya.
Like mother like son.
Ternyata Oliq juga sangat senang dengan Tanjung Kelayang. Kaki-kaki kecilnya menapaki pasir lembut dengan lincah. Kami sempat bermain petak umpet di balik batu-batu besar. Sepi, indah, romantis, berbeda jauh dengan pantai-pantai wisata yang ramai pengunjung. Udaranya pun segar karena tumpukan batu granit di Tanjung Kelayang letaknya di ujung, jauh dari jalan raya dan lokasi parkir. Sayangnya ada juga yang membuang sampah plastik pembungkus makanan
Siang yang terik membuat kami berlindung di bayangan bebatuan. Kami menenggak minuman, andai ada Liang Teh Cap Panda yang enaknya asli Indonesia, pasti bisa meredakan panas di tenggorokan. Mungkin lain kali harus membawanya sebagai bekal ke mana-mana, maklum saja negara kita tropis, tubuh butuh cairan yang lebih berkhasiat daripada air mineral.
Tidak henti-hentinya Puput mengambil gambar Oliq yang riang gembira berlari ke sana kemari. Badan Si Kecil basah terkena ombak, rambutnya bersinar memantulkan cahaya matahari keemasan.

Bersyukur bisa datang ke Tanjung Kelayang lagi. Empat tahun yang lalu tidak ada yang bisa digandeng, kali ini saya menggandeng dua orang sekaligus. Dua orang yang sangat saya cintai.
Saya sudah berkunjung ke banyak pantai di Asia, Australia, dan Eropa, nyatanya pantai-pantai di Indonesia selalu menjadi yang paling mempesona. Bagi saya, tantangannya sekarang hanya satu, bagaimana pemerintah dan masyarakat menjaga keindahannya, mempromosikan pariwisata, tanpa merusak alam dan kearifan lokal.
Pantai Tanjung Kelayang indahnya asli Indonesia.
Pantaiiii…. ! Bagus sangat memang ya mak. Semoga suatu saat, aku bisa ngebolang sampai belitong
LikeLike
Ah deket ini belitung pasti bisa
LikeLike
Aaamiiiin, aaamiiiin… semangaaat, semangaaatt!
LikeLike
Nice!!
Transportasi kesana dari Jakarta naik apa ya mbak?
LikeLike
Ke tanjung pandan ada citilink dan kayanya sriwijaya. Kalau weekend mepet suka full booked. Dari bandara keliling bisa sewa mobil. Transportasi umum ga ada soalnya
LikeLike
asikkkk aku bulan depan mampir ke Belitung *lagi ngebayangin naik tangga mercusuar* *kemudian pingsan*
LikeLike
Ga segitunya mei. Aku sambil gendong oliq aja kuat kok
LikeLike
Wah, saya belum pernah tuh ke Belitung, keliatannya memang sangat indah dan memesona. Jadi pengen, asik kali ya sama keluarga, tarif hotelnya juga cukup murah 😀
mampir yaaaa ke Blog Ca Ya 😀
LikeLike