Beratus kilometer dari tanah kelahiran, Aceh bukan hanya salah satu provinsi di negeri ini. Bagi saya, Aceh pernah menjadi rumah.

Saya pertama kali menjejakkan kaki di Tanah Rencong pada tahun 2006, kala itu – hampir dua tahun setelah tsunami 2004 – Aceh masih porak poranda. Walaupun rumah-rumah bantuan telah dibangun, puluhan ribu jiwa masih harus tinggal di barak-barak kayu, dengan fasilitas yang sangat minim. Di sana-sini mobil besar milik NGO atau organisasi PBB mondar-mandir, biasanya lengkap dengan stiker “Hana Angkot Beude” tertempel di satu sisinya. Tidak ada senjata, artinya. Tahun-tahun itu situasi di Aceh masih dianggap rawan akibat konflik yang dahulu pernah terjadi.
Dua tahun hidup di Aceh, saya sudah kagum dengan apa yang diberikan Tuhan untuk daerah ini. Pantai-pantai saat itu masih banyak yang rusak karena terjangan gelombang tsunami, namun di banyak tempat, keindahan alam Provinsi Aceh tidak dapat dinafikan. Pantai bersih yang masih perawan, laut biru jernih, dan bukit-bukit menghijau. Ah, alam semesta pasti ikut tersenyum ketika Tuhan menciptakan pemandangan dari arah Gunung Geureute.
Sekagum-kagumnya saya akan kecantikan pantai di sepanjang Aceh Besar, Lamno, Calang hingga Meulaboh, selama dua tahun itu Banda Acehlah yang menjadi rumah saya. Dengan sepeda, saya pernah melintasi jalan-jalan di Neusu, Simpang Surabaya, dan entah ke mana lagi. Janji saya pada diri sendiri saat itu adalah bila sudah menikah akan membawa suami kembali kemari, menunjukkan apa yang dimiliki oleh tanah kelahiran Tjut Nyak Dien ini.
***
Lima tahun setelah kepergian saya dari Banda Aceh, terwujud sudah cita-cita masa lalu. Bukan hanya dengan suami, anak saya yang kala itu berusia 1,5 tahun pun sangat beruntung akhirnya bisa berkunjung ke Aceh. Menapaktilasi kehidupan masa lalu ibunya, menghargai keindahan alam negerinya, mencicipi semua yang dimiliki permata di ujung barat nusantara ini.
Mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, saya tercengang. Ketika meninggalkan Aceh pada tahun 2008, bandara belum jadi sempurna. Kala itu ruang tunggu hampir selalu penuh dengan calon penumpang – banyak di antaranya merupakan pekerja kemanusiaan asing. Sekarang semuanya sudah jauh lebih tertata, bandara luas dan bersih, serta lebih terang. Dari landasan pun terlihat bangunan utama yang sangat megah. Aceh sudah berubah, pikir saya.

Apalah yang lebih baik dari seorang muslim daripada berkunjung ke masjid? Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Tujuan pertama adalah Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi jantung kota Banda Aceh. Kehidupan rakyat Aceh seolah-olah mengitari masjid yang bisa dibilang salah satu yang terbaik di Indonesia. Usai menjalankan shalat Dhuhur, kami pun asyik mengambil gambar. Oliq, anak saya, lari dengan riang ke sana kemari di halaman masjid.
Masjid Raya Baiturrahman dulunya adalah masjid milik Kesultanan Aceh yang sempat dibakar oleh Belanda. Pada tahun 1875, Belanda membangun kembali masjid, dan sejak saat itu beberapa kali mengalami renovasi hingga menjadi luas dan megah seperti sekarang. Masjid ini sekarang memiliki 7 kubah.
Di samping masjid adalah Pasar Aceh. Bila Masjid Baiturrahman adalah jantung kota Banda Aceh yang merupakan inti dalam kehidupan, Pasar Aceh bak urat nadi. Pasar terbesar ini merupakan sendi perekonomian masyarakat Aceh.
“Di sana ada beberapa toko emas, salah satu yang paling terkenal namanya Keuchik Leumik,” kata saya pada Puput – suami saya – setengah berharap akan diajak ke sana untuk dibelikan cincin kawin yang sudah terlambat 3 tahun. Gagal. Yang diajak ngobrol malah asyik memotret kegiatan masyarakat, terutama para pedagang sirih pinang yang berjajar di depan pasar.
Kami lalu berangkat menuju ke tempat lain yang spesial, Lampulo. Dulu saya biasa ke Lampulo pada hari Sabtu pagi untuk membeli ikan segar. Kini, tujuannya lain sama sekali. Anak saya senang melihat banyak perahu beraneka warna tertambat di tepian.
Pemandangan perahu nelayan yang berada di atap rumah terlihat sangat menakjubkan bagi siapapun yang baru pertama kali melihatnya. Puput sampai terpesona tidak henti-hentinya mengambil gambar. “Wah, benar-benar di atap,” katanya.
“Ah, dulu kelihatan lebih dramatis lagi, belum banyak dikasih penyangga kayak sekarang,” kata saya sedikit jumawa. Padahal, hingga saat ini pun perahu tersebut masih utuh dan memang posisinya menakjubkan. Lebih dari itu, perahu ini adalah bukti nyata kebesaran Allah.
Tsunami yang melanda memang telah mengambil begitu banyak nyawa, namun sepuluh tahun hampir berlalu harus diakui ada setitik hikmah di balik ujian Tuhan ini. Kini Aceh berkembang jauh lebih pesat daripada awal tahun 2000 sebelum tsunami menerjang. Selain itu, banyak hal – seperti kapal Lampulo ini – justru berubah menjadi potensi wisata yang sangat bisa untuk dikembangkan.
Sebuah boks donasi diletakkan tak jauh dari kapal, saya bisa melihat dengan mudah banyak uang ringgit berada di dalamnya. Adanya penerbangan murah yang menghubungkan Aceh dengan Kuala Lumpur memang berhasil menyedot wisatawan negeri jiran untuk berkunjung ke Serambi Mekkah. Alhamdulillah, batin saya.

Bukti luar biasanya tsunami yang masih tampak berada di Punge Blang Cut, tidak jauh dari pusat kota Banda Aceh. Di sini, sebuah kapal generator listrik bernama PLTD Apung terdampar, sekitar 3 km dari bibir pantai. Ketika saya bercerita bertahun-tahun sebelumnya, Puput mengira ia hanya akan menjumpai sebuah kapal yang mungkin tidak jauh berbeda dengan kapal-kapal nelayan biasa. Nyatanya, ia langsung terbelalak begitu melihat kapal seberat 2.600 ton itu berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Sebagai seorang insinyur elektro, rasa ingin tahunya begitu besar sehingga ingin melihat keseluruhan detil kapal.
Saya hanya senyum-senyum sendiri melihatnya. Entah ini kali berapa saya berkunjung ke PLTD Apung, yang jelas ini adalah pertama kalinya sejak dijadikan monumen. Ketika masih bekerja di Aceh pada tahun 2006-2008, kerap kali saya bertugas membawa wartawan asing ke lokasi ini. Wartawan dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol, sudah pernah saya ajak kemari, entah dari mana lagi. Mereka semuanya langsung terpana melihat kapal yang jauh lebih besar dari bayangan mereka sebelumnya.
Saya ingat kala itu adalah belum banyak rumah berdiri di sekelilingnya. Kini, bangunan yang dulu rata dengan tanah sudah dibangun baru. Kehidupan sudah normal. “Sekarang di sini ramai kali, Mbak!” kata Bang Kamal, sopir yang kami sewa. “Yang ke arah Ulee Lheue banyak kedai kopi juga!”
Kopi, pikir saya, nggak boleh ketinggalan. Tapi nanti, setelah Museum Tsunami.

Dari sekian banyak lokasi yang pernah saya kunjungi, inilah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Museum Tsunami. Didesain oleh Ridwan Kamil – sekarang Walikota Bandung – museum ini bisa dibilang yang terbaik di dunia untuk jenis yang sama. Museum ini sangat interaktif sehingga tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun senang berada di sini.
Dari halaman museum saya dapat melihat Kerkhoff, kuburan Belanda yang bersejarah. Kabarnya masih banyak orang-orang Belanda yang datang berziarah ke Aceh karena kakek atau buyutnya dimakamkan di sini.
Apalah arti datang ke sebuah tempat tanpa mencicipi makanan khasnya. Sudah lama saya tidak merasakan mie Aceh, salah satu favorit saya adalah sebuah kedai mie tidak jauh dari Lampuuk. Entah apa nama warungnya. Warung yang dicat hijau tersebut ternyata masih ada dan kami pun memesan mie kepiting, sementara itu Bang Kamal memilih mie biasa. Rasa pedas dan gurih langsung memanjakan lidah saya. Maklum, dulu di Jakarta hanya sering makan mie Aceh abal-abal, jadi langsung berliur mencicipi yang asli.

Ketimun dan bawang yang dijadikan pelengkap mampu mengurai rasa tajam rempah-rempah yang menggelayut di lidah. “Enaaaak,” kata Puput. Ia sibuk bergulat dengan satu ekor kepiting di piringnya. Bayangkan saja, untuk satu piring mie kepiting, harganya hanya Rp 30 ribu. Jangan bandingkan dengan harga di Jakarta!
Kami menutup hari dengan pergi ke salah satu tempat paling favorit saya di Aceh, yaitu Kedai Kopi Solong di Ulee Kareng. Solong bukan hanya kedai kopi biasa, di sini semua orang bertemu. Tua, muda, lelaki, perempuan, wartawan, tukang becak, pejabat, semuanya sama rata, tidak pandang bulu.
“Sanger dingin,” kata saya pada si abang pelayan. Udara panas Banda Aceh memang cocok dikombinasikan dengan kopi susu yang diberi es. Pelayan itu menata piring-piring kecil berisi makanan ringan yang membuat kami hampir meneteskan air liur. Ada timpan, kue jala, pulut, entah apa lagi saya tidak tahu namanya. Saya memakan kue jala sementara Puput menikmati timpan. Oliq malah sibuk mengejar kucing yang berada di bawah meja.

Kopi Solong harus dijadikan tempat wajib kunjung bagi siapapun yang datang ke Aceh. Bukan hanya kopinya yang lezat, namun suasananya sangat menyenangkan. Semua orang berbaur tanpa kasta, membicarakan segala hal yang sedang hangat terjadi. Pembuat kopi pun tampak atraktif karena ia menyaring kopi dengan cara mengangkatnya tinggi-tinggi. Kopi Aceh disaring dengan kain seperti itu supaya dapat mengurangi rasa masam.
Rasa-rasanya tidak cukup waktu untuk mengunjungi setiap titik pesona di Tanah Rencong ini. Tidak juga cukup kata-kata untuk menggambarkan indahnya.
Saya pulang dengan empat bungkus kopi. Saya bawa rasa Aceh ke Ibukota.
Suatu saat kami akan kembali lagi, dengan niat menyusuri tepian pantai Aceh dari ujung-ke ujung. Mutiara di ujung barat Indonesia, jangan pudar cantikmu!
***
gaya bercerita mbak olen itu lho, saya suka – saya suka 😀
LikeLike
Hahahaa gaya bercerita yg gimana? Ada curhatan yg nyempil gitu wekekeke
LikeLike
apik. semoga menang mbak-é
LikeLike
Ahaha nuwun. Semoga ya. Ben hadiahe iso nggo golek tiket maning
LikeLike
Wah aku ke banda aceh mung singgah… Ga lama lama, sukses ya mbak lombanya….
LikeLike
Rugi kakaaak. Aceh tuh bagus banget pantai2nya terutama yg off beaten path. Coba ke sana lagi kan deket tuh dari batam wekee
LikeLike
Bagus cerita nya olen..suka sekali.
LikeLike
Makasih taufik
LikeLike
Enak bgt sie len bisa jalan2 trs.. seneng aku ngikutin crita2mu.. jadi pengen ktmpt yg km critain.. ning rung due dit.. heheh..
LikeLike
Lho…kamu pengikut ceritaku to hahahaha. Halah duit kui perkoro gampang. Sing penting niat
LikeLike
Aceh memang eksotik. Dari alamnya, makanannya, bahkan hingga ke orang-orangnya. Semoga suatu hari nanti bisa berkunjung ke Aceh. Makasih sudah sharing, Mak. 🙂
LikeLike
Makasih mak nia udah mampir. Hooh harus ke aceh mak, nggak bakal nyesel
LikeLike
jadi kangen aceh…….sy sejak kecil hingga kuliah D3 di Lhokseumawe, Aceh Utara….Meski bukan penduduk asli Aceh…bagi saya,Aceh adalah rumah….:-)
LikeLike
Ah ya, aku juga pernah 2x ke lhokseumawe
LikeLike
Warung mie yg di lampuuk namanya warung mie Ayu, simbok… Sebelah lapangan golf lama, deket masjid soechi bentuk mirip pagoda.
LikeLike
Yg catnya ijo muda itu? Dulu selalu rame sama org NGO pas aku ke sana ibunya bilang sekarang sepi.
LikeLike
iya mbak, sekarang warung mie ayu udah sepi banget, kemungkinan sih kayaknya udah tutup, udah lama juga gak kesana 🙂
salam kenal, saya reza dr banda aceh :). Numpang lewat dimari mbak, lg baca2 tips liburan ke hongkong, soalnya rencananya saya bulan feb 2016 ini mau main ke hongkong 😀
LikeLike
Mie ayu yang catnya ijo deket lhok nga ya? Pas ke sana juga udah sepi padahal dulu jaman masi rehab rekon rame bgt ya.
Semoga postimgan hong kongnya membantu
LikeLike
duh cantik kali… keren tulisannya mbak. mampir juga ya kemari 🙂
http://mhdharis.wordpress.com/2014/04/27/banda-aceh-punya-situs-objek-wisata-tsunami-yang-wajib-dikunjungi/
LikeLike
Makasih. Good luck juga lombanya ya
LikeLike
Keren, menarik dan ringan jalan ceritanya mbak…, disisipin dengan anaknya yg sibuk bermain dengan kucing dibawah meja…makasih yaa…
LikeLike
Keren, menarik dan ringan jalan cerita nya. disisipin dengan anaknya yg sibuk bermain dengan kucing dibawah meja, serta berharap sang terkasih memiliki niat tuk membelikan emas…hhhmmm, sayang nggak kesampaian yah…
LikeLike
Bagus tulisannya mbak Olen.. terimakasih telah mempromosikan aceh dan terimakasih pula telah ikut membangun kembali aceh pasca tsunami. Kalau ada umur & waktu, bila berkunjung kembali ke aceh dapat melihat keindahan2 alam & cita rasa makanan khas lainnya di b.aceh serta daerah2 lainnya seperti sabang di aceh
LikeLike
makasih ya :))
LikeLike
Aaaahhh sebagai orang asli Aceh yang tinggal 25 taun di aceh i’m impressed 🙂
Mudah2an menang ya 🙂
LikeLike
Terbukti, Aceh emang mudah dicintai ya.. Aku n mbak Olen salah duanya. Sama-sama bertahun-tahun di Aceh berakhir jatuh cinta sama bumi Seramoe Mekkah 😀
LikeLike
sukses selalu…jangan lupa colek punya kami juga ya..? http://informasi-syarif.blogspot.com/2014/03/hutan-kota-icon-paru-paru-serambi-mekkah.html
LikeLike
sukses juga ya… udah dicolek, keren pak 🙂
LikeLike
Undangan Menjadi Peserta Lomba Review Website berhadiah 30 Juta.
Selamat Siang, setelah kami memperhatikan kualitas tulisan di Blog ini.
Kami akan senang sekali, jika Blog ini berkenan mengikuti Lomba review
Websitedari babastudio.
Untuk Lebih jelas dan detail mohon kunjungi http://www.babastudio.com/review2014
Salam
Baba Studio
LikeLike
Salam kenal kak..
keren ceritanya.. walaupun saya orang banda aceh, tapi baca tulisan ini tetep terbawa suasana 😀
btw, kakak beruntung berhasil mengabadikan moment2 terakhir masjid raya baiturrahman. sekarang? dia sedang sakit 🙂
LikeLike
Makasih Bang. Ada apa dengan Masjid Raya?
LikeLike