Selepas dari Desa Kinahrejo Yogyakarta, destinasi ketiga Ekspedisi Terios 7 Wonders Hidden Paradise adalah Suku Tengger yang berdiam di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Awalnya, saya mengira kami akan menuju Gunung Bromo dan lautan pasirnya yang sudah sangat termahsyur, namun ternyata tujuan kami adalah Desa Ranu Pane yang terkenal sebagai base camp sekaligus titik awal pendakian Gunung Semeru. Desa ini bisa ditempuh lewat 2 jalur, yaitu lewat Tumpang dan Lumajang. Pada umumnya, pendaki gunung yang berangkat dari Malang akan melalui jalur Tumpang, demikian pula rencana kami pada awalnya. Namun, karena jalur ini ternyata sedang diperbaiki karena rusak berat, kami harus memutar jauh melalui Lumajang.

Memulai perjalanan dari dealer Astra Daihatsu Motor Malang pada pukul 09.45, kami baru mencapai Desa Ranu Pane pada pukul pada 21.00, termasuk istirahat makan siang selama kurang lebih 2 jam. Sebenarnya jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, sekitar 210 km, namun jalan yang berliku, sempit, sekaligus rusak selepas desa terakhir sebelum Ranu Pane, membuat perjalanan menjadi sangat menantang sekaligus melelahkan. Untungnya, Daihatsu Terios tunggangan kami terbukti sangat tangguh sekaligus nyaman menemani perjalanan panjang kami. Tidak ada masalah berarti ketika melewati jalan yang umumnya hanya dilewati jip 4 WD dan truk pengangkut sayur.

Begitu tiba di Desa Ranu Pane, kami langsung disambut warga Suku Tengger dan dipersilahkan menuju rumah warga yang memang sudah dipersiapkan untuk menyambut rombongan Ekspedisi Terios 7 Wonders. Rumah ini berukuran sedang, mungkin sekitar 80 m2. Yang paling unik adalah di rumah Suku Tengger, ruang tamu menyatu dengan pawon alias dapur. Pawon ini menjadi ruangan utama sekaligus ruang terbesar dalam rumah Suku Tengger. Tungku kayu bakar diletakkan persis di tengah ruang dan menghadap deretan meja dan kursi yang digunakan untuk menyambut tamu.

Rupanya, ada filosofi mendalam di arsitektur unik ini. Di ruangan inilah tuan rumah menyambut tamu sekaligus berbagi kehangatan dengan mereka. Berbagi kehangatan dalam arti sesungguhnya, yaitu berbagi kehangatan api dari tungku kayu bakar, dan berbagi dalam arti kiasan, yaitu berbagi cerita, keakraban, dan tak ketinggalan kudapan khas Suku Tengger. Inilah hidden paradise alias surga tersembunyi dari Suku Tengger yang selama ini jarang diketahui masyarakat umum.
Meskipun pawon sebenarnya cukup besar, sekitar 2/3 dari total luas rumah, namun begitu 24 orang peserta Ekspedisi Terios 7 Wonders memasuki pawon ini baru terasa cukup sesak. Namun justru disini kami bisa saling berbagi kehangatan dengan duduk berdempet-dempetan dan merapat dengan tungku kayu yang sedang menyala. Sebenarnya, tuan rumah akan memasak sembari mengobrol dengan tamu. Namun, karena rombongan kami cukup banyak dan kelaparan berat, warga yang menyambut cukup pengertian dengan menyiapkan masakan khas Suku Tengger sebelumnya. Jadilah kami berbincang ringan dengan Mas Lutfi, pemandu lokal yang menyambut rombongan kami. Topik kami lebih banyak berkisar pada kondisi terkini Gunung Semeru, terutama setelah film “5 Cm” yang bercerita tentang pendakian Gunung Semeru sukses besar di pasaran.

Karena malam semakin larut dan perut semakin melilit, akhirnya santapan makan malam pun dihidangkan di hadapan kami. Nasi putih, jagung putih, sayur kol, ayam bakar utuh, tahu goreng, tempe goreng, ketela rebus, sayur sop, dan sambel tersaji satu persatu di hadapan kami. Sebenarnya yang termasuk masakan khas Suku Tengger hanyalah jagung putih pengganti nasi, ketela rebus, sayur kol yang disebut semen, dan pastinya sambel. Tahu tempe termasuk makanan mewah bagi mereka, apalagi ayam bakar. Namun demi menghormati kami selaku tamu dari jauh, mereka mau bersusah payah menghidangkan makanan spesial bagi kami. Pastinya makanan ini sangat lezat, khas masakan rumahan, apalagi selama perjalanan kami selalu makan di restoran yang citarasanya berbeda dengan masakan rumahan. Yang paling mantap adalah sambelnya. Penampakan sambel ini sebenarnya biasa saja, merah menyala seperti sambel kebanyakan. Beberapa kawan cukup pede mengambil beberapa sendok makan sambel ke dalam piringnya. Saya sendiri yang memang penggemar berat sambel, kali ini memutuskan untuk mengambil sambel tidak terlalu banyak.

Bukan apa-apa, dulu di tahun 2003 saya pernah disuguhi makanan lengkap dengan sambelnya oleh penduduk lokal waktu saya baru saja turun dari pendakian Gunung Semeru. Waktu itu penampakan sambelnya malah jauh dari kesan pedas, warnanya hitam dan kering. Namun begitu masuk ke dalam mulut, benar-benar ngampleng. Rasanya persis seperti ditampar dari dalam. Pedas luar biasa. Kawan saya yang tidak begitu senang sambel langsung muntah begitu mencicipi sambel ini. Hingga kini, sambel ini yang selalu saya sebut Sambel Semeru masih menjadi sambel terpedas yang pernah saya rasakan.

Belajar dari pengalaman ini, saya menduga sambel yang dihidangkan saat tim Terios 7 Wonders dijamu di rumah Suku Tengger akan pedas juga. Rupanya dugaan saya benar, sambelnya memang pedas meski tidak sepedas Sambel Semeru yang pernah saya rasakan. Beberapa kawan langsung melet-melet sambil mendesis tanda kepedesan. Sambel yang sudah diambil pun akhirnya tidak jadi dihabiskan. Paginya, beberapa orang menjadi akrab dengan toilet alias mules-mules hasil kedahsyatan sambel semalam.
Puas menikmati masakan khas Suku Tengger, kami lanjutkan perbincangan dengan pemandu kami. Malam yang semakin larut dan dingin tak menghalangi keasyikan kami berbaur dengan warga setempat. Kehangatan bara api dari tungku kayu dan keramahan Suku Tengger benar-benar menghidupkan pawon Suku Tengger yang unik. Saya hanya berharap kehangatan ini tak akan lekang dimakan zaman dan terus lestari sampai generasi mendatang.
Mantab sekali sharing dan liburannya..
LikeLike
Ooo, pawon artinya dapur tohh.. Berarti candi Pawon=candi dapur ya mas? 😀 baru tau saya 😀
LikeLike
yup pawon = dapur 🙂
LikeLike
ayam bekakaknya seksi bener, minta dikampleng pake sambel wkakakkakakka
LikeLike
yooiii 😛
LikeLike
hampir mirip dengan penduduk di Dieng yang menyambut tamu mereka di pawon hehe 😀
LikeLike
wah baru tahu di dieng sama jg tradisinya.. kudu dicoba nih…
LikeLike
sambelnya keliatan pedes banget 😐 ayam bakarnya….. *kelaperan deh baca ini*
LikeLike
pedes modar…. tp masih kalah sama sambel bunuh diri ayam taliwang di casablanca 🙂
LikeLike
ayam taliwang sih belom ada yang ngalahin XD
LikeLike
benernya sambel taliwang bervariasi sih, kalo yg standar emg pedes tp gak pedes2 amat… yg bunuh diri baru pedes abisss…
LikeLike