Bicara tentang kuliner Jogja, apalagi kabupaten Bantul, tentu kurang lengkap tanpa Sate Klathak Pak Pong. Mungkin Anda penasaran, apa sih bedanya dengan sate-sate lain yang bertebaran di penjuru Nusantara? Tak seperti sate biasanya yang ditusuk dengan bambu, daging sate klathak ditusuk dengan jeruji sepeda yang terbuat dari besi. Bumbunya pun tidak menggunakan bumbu kacang maupun kecap seperti sate kebanyakan.

Sate Klathak Pak Pong terletak di Kabupaten Bantul, selatan Kota Yogyakarta. Dari pusat kota, Anda tinggal menuju daerah selatan sampai bertemu jalan Ring Road Selatan. Setelah sampai di Ring Road Selatan, arahkan langkah Anda menuju Terminal Bus Giwangan. Setelah sampai perempatan Ring Road Selatan – Terminal Giwangan (terminal ini terletak persis di perempatan jalan sehingga mudah dijadikan patokan), Anda tinggal menuju ke selatan (kalau Anda dari pusat kota bisa jadi tinggal lurus atau belok kanan, kalau Anda dari arah Solo tinggal belok kiri) menuju Jalan Imogiri Timur. Setelah kira-kira 15 – 20 menit berkendara, Anda akan menemukan perempatan jalan dengan lampu merah. Anda tinggal belok kanan, kemudian akan melewati jembatan sempit namun masih cukup untuk 2 mobil berpapasan, lalu setelah kira-kira 10 menit Anda akan menemukan Sate Klathak Pak Pong di kanan jalan. Mobil bisa juga diparkir di kiri jalan karena lahan parkir restoran ini cukup luas.

Dari luar penampakan restoran Sate Klathak Pak Pong cukup besar namun sederhana. Konsepnya berupa saung-saung, ada yang dilengkapi meja kursi, ada pula yang lesehan. Di tengah-tengah saung ada tempat bermain anak, sebuah ide cerdik untuk memanjakan pengunjung keluarga yang membawa anak kecil seperti saya, Olen, dan Boliq. Ada pula mushola sehingga Anda bisa sholat dengan tenang.

Yang paling mencolok adalah dapur yang terletak di depan sehingga pengunjung bisa dengan leluasa mengamati proses pemotongan daging, penusukan daging dengan jeruji roda sepeda, dan paling penting adalah pembakaran sate. Panggangan satenya sama dengan penggangan sate pada umumnya dengan bahan bakar arang kayu. Asal nama Klathak sendiri ada dua versi. Yang pertama mengatakan waktu sate dibakar,keluar suara “klathak-klathak” sehingga akhirnya sate ini dinamakan Sate Klathak. Versi kedua, suara “klathak-klathak” berasal dari jeruji roda sepeda yang jatuh. Apapun asalnya, yang pasti Sate Klathak telah menjadi ikon kuliner di daerah Bantul.

Saya datang ke sini menjelang Maghrib. Saat yang tepat, karena pada jam makan siang atau malam, restoran ini selalu penuh, apalagi pada hari libur. Tak perlu menunggu terlalu lama, sate klathak pesanan kami sudah siap dihidangkan. Sate klathak terdiri dari hanya 2 tusuk sate dengan kuah seperti gulai, namun lebih encer. Porsi nasinya sedang, lebih sedikit dari kebanyakan bakul sate, namun pas untuk ukuran saya. Setelah semua lengkap dihidangkan, saatnya mencicipi. Hmm, ternyata satenya empuk, kenyalnya pas, serat daging kambingnya terasa lembut dan tidak alot. Rasanya sangat sederhana, hanya diberi garam secukupnya, namun tidak ada bau prengus sama sekali. Luar biasa menurut saya, dengan bumbu garam saja, tentunya perlu teknik pengolahan tersendiri agar dagingnya tidak prengus. Kuahnya rasanya juga nikmat, seperti gulai namun lebih encer dan terasa ringan, pas sekali dipadukan dengan satenya. Kalau Anda penggemar pedas seperti saya, tinggal comot lombok rawit yang tersedia dan sensasi pedas lombok rawit akan menambah nikmat paduan nasi, sate, dan kuah gulai. Ternyata memang 2 tusuk sate pas sekali dengan porsi nasi dan kuah gulainya. Nasi bisa saya tandaskan, sate tak bersisa, kuahnya juga nyaris habis, dengan beberapa buah lombok rawit sebagai pelengkap. Porsinya benar-benar pas untuk ukuran saya, tak seperti warung sate pada umumnya yang menyediakan porsi kuli. Kami juga memesan tongseng, namun menurut saya rasanya tak terlalu istimewa.

Dengan kelezatan yang unik, tentu Anda bertanya-tanya, berapa rupiah yang harus dibayar. Pengelola warung tidak memasang harga di menunya sehingga pengunjung hanya bisa menebak-nebak. Dengan memesang 2 sate, 1 tongseng, 3 nasi, es jeruk, es teh, dan 2 krupuk, saya harus menebus sekitar 62 ribu rupiah. Perkiraan saya, satenya dihargai sekitar 15 ribu rupiah. Harga yang cukup pantas dengan sensasi unik yang ditawarkan. Jadi, jika Anda ingin merasakan sensasi kuliner unik di Jogja, jangan lupa mampir ke Sate Klathak Pak Pong.
sangat berharap bisa pelesiran di jogja
LikeLike
tinggal cari tiket aja kan 🙂
LikeLike
🙂
LikeLike
Halo Mas, mau tanya dong, kalau mau ke sini pake angkutan umum gitu ada ga sih? saya mau jalan bertiga soalnya, ga bisa sewa motor karena yang 2 ga tau naik motor. dan kl sewa mobil kemihilan x)
Makasih sebelumnya 🙂
LikeLike
ada kok, ada bis kecil yg arah imogiri… tp berhenti di perempatan, trus jalan kaki mungkin skitar 10-20 menit ke sate klathaknya…
LikeLike
RRAMEEEE, antrinya 1 jam….. woww
LikeLike
kapan emang kesananya? tp emang rame sih hari biasa aja…
LikeLike
wah, kapan ya ke sini lagi :3
LikeLike